BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Indonesia adalah negara agraris sebagian penduduknya
adalah petani. Hal ini berarti Indonesia merupakan salah satu produsen
hasil-hasil pertanian. Tetapi sistem pertanian Indonesia masih jauh tertinggal
di bandingkan negara-negara Asia lainnya seperti Vietnam, Malaysia, Thailand
dan lain-lain. Ini semua disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, kurangnya
perhatian pemerintah terhadap pertanian dan yang paling berpengaruh yaitu
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manajemen pertanian (manajemen
agribisnis).
Pada umumnya para petani di Indonesia menganggap
bertani adalah untuk memperoleh keuntungan. Selain itu, sebagian besar petani
menganggap bertani sebagai suatu perkerjaan bukan suatu bisnis, sehingga para
petani Indonesia kurang mengetahui tentang pasar dan situasi pasar. Dengan
kurangnya pengetahuan tentang pasar maka para petani menjadikan iklim dan harga
jual sebagai motivasi mereka dalam melakukan pekerjaan.
Pada produk pertanian, produsen tidak mutlak
berperan sebagai penentu harga. Jumlah hasil produk yang banyak belum tentu
mempunyai nilai sebanding dengan jumlah produk tersebut, karena harga produk
pertanian dapat berubah fluktuatif dalam waktu tertentu. Untuk meningkatkan
taraf hidup, para petani banyak mengalami kendala, salah satunya di sebabkan
oleh sifat produk pertanian tersebut. Dimana salah satu sifat produk pertanian
tidak tahan lama dan mudah rusak. Hal ini menyebabkan harga jual sering
berfluktuasi secara tajam, sehingga harga jual produk pertanian tersebut sulit
diramalkan.
Pada dasarnya
perubahan harga jual akan memberi pengaruh yang sangat besar terhadap petani.
Salah satu pengaruhnya yaitu tingkat pendapatan para petani, yang selanjutnya
sangat berpengaruh untuk memotivasi atau meningkatkan produktivitas kerja para
petani. Darwis (2006:21) menyatakan bahwa “harga jual merupakan salah satu
perangsang (motivator) bagi petani untuk melakukan pekerjaannya”.
Komoditas pala merupakan komoditas penting dan potensial
Dalam perekonomian nasional. Penting karena menjadi penyumbang pendapatan
utama antara lain bagi petani di wilayah Timur Indonesia, khususnya di daerah
sentra produksi pala. Potensial karena mampu mensuplai 60-75% kebutuhan
pangsa pasar dunia serta mempunyai banyak manfaat baik dalam bentuk
mentah ataupun produk turunannya. Disamping hampir semua bagian buahnya
dapat dimanfaatkan, pala termasuk tanaman yang mempunyai keunggulan komparatif
alamiah karena berumur panjang, daunnya tidak pernah mengalami musim gugur sepanjang
tahun sehingga baik untuk penghijauan dan dapat tumbuh dengan
pemeliharaan minim. Dengan demikian potensi pala cukup kompetitif dan
dapat diandalkan dalam membantu pertumbuhan perekonomian di daerah sentra
produksi. Bagian tanaman pala yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi
adalah biji buah dan fulinya yang digunakan sebagai bahan industri
minuman, makanan, farmasi dan kosmetik. Pengusahaan tanaman pala di Indonesia
merupakan pertanaman rakyat dan sudah sejak lama diusahakan. Pada tahun
2011 luas areal tanaman pala 122.585 Ha dengan jumlah produksi 22.252 ton.
Indonesia merupakan negara pengekspor pala terbesar di dunia. Perkembangan
volume ekspor biji pala Indonesia selama 5 (lima) tahun terakhir
(2005 – 2009) mengalami fluktuasi, ekspor terendah pada tahun
2010 sebesar 14.186 ton dengan nilai US$ 86.096.000. Bentuk komoditas pala yang
diekspor oleh Indonesia adalah dalam bentuk biji pala, fuli, dan pala
glondong.
Pala (Myristica fragrans Houtt) adalah anggota dari
genus Myristica yang merupakan tanaman rempah tropik asli Indonesia dari
kepulauan Banda dan Maluku. Rumphius (1743) menyatakan bahwa dunia mengenal
Maluku dari hasil pala dan cengkeh.
Dahulu, pala merupakan salah satu tanaman rempah yang
menjadi rebutan bangsa-bangsa yang datang ke Indonesia seperti Portugis pada
tahun 1511. Biji dan kulitnya dibawa ke Eropa dan dijual dengan harga yang
sangat mahal. Harga yang tinggi ini merupakan perangsang bagi bangsa-bangsa
lain untuk datang ke Indonesia.
Pada zaman V.O.C, sistem tataniaga pala dan cengkeh telah
tertata dengan baik, sehingga pala bisa memberikan kontribusi terhadap
pendapatan yang signifikan bagi negeri Belanda. Kemudian pada tahun 1748
tanaman ini dikembangkan ke daerah Minahasa dan Kepulauan Sanger Talaud,
Sumatra Barat dan Bengkulu, kemudian menyusul di Jawa, Aceh dan Lampung. Pada
jaman kekuasaan Inggris, tanaman ini disebarkan pada beberapa daerah jajahan
tetapi tidak berhasil baik, di Malaya dikalahkan oleh karet, di pulau kecil
India Barat (Grenada) dapat berhasil baik sehingga daerah ini menjadi saingan
Indonesia dalam ekspor pala di dunia.
Hingga
saat ini, pala tetap menjadi primadona karena nilai ekonominya. Nilai ekonomi
bahan baku kering pala di pasaran saat ini sekitar Rp52.500,00/kg sedangkan
minyak atsirinya (Nutmeg Oil) Rp570.000/kg (Rusli, 2010). Dari satu
pohon pala yang berumur sekitar 25-50 tahun akan menghasilkan 160 kg buah pala,
yang terdiri dari daging buah, biji pala (22,5 kg) dan fuli (3 kg). Menurut Marzuki
(2007) bila dari minyak buah pala diproses kimia lebih lanjut, akan dihasilkan
lemak/mentega (8,05%), 16 komponen terpenoid (73,91%) dan 8 komponen aromatic
(18,04%).
Kepulauan
Talaud merupakan bagian integral dari Propinsi
Sulawesi Utara, dengan Ibukota Melonguane yang berjarak sekitar 271 mil laut
dari Manado Ibukota Provinsi Sulawesi Utara, terletak pada posisi geografis 3º 38‟ 00”- 5 º 33‟ 00” Lintang
Utara dan 126° 38‟ 00” - 127° 10‟ 00” Bujur Timur, di mana batas administrasi Kabupaten Kepulauan Talaud adalah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Bebatasan dengan Republik Philipina
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Samudera Pasifik
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Laut Sulawesi
Berada diantara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Republik Philipina), sehingga Kabupaten Kepulauan Talaud bersama dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe, di sebut “Daerah Perbatasan“. Kemudian disamping Daerah Perbatasan, karateristik lain yang cukup signifikan membedakan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan Kab/Kota lain yakni: sebagai Daerah Kepulauan dan Daerah Tertinggal. Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe (pada saat itu masih Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud), berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan daerah bahari dengan luas lautnya sekitar 37.800 km2 dan luas wilayah daratan 1.251,02 Km2. Terdapat tiga pulau utama di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Pulau Karakelang, Pulau Salibabu dan Pulau Kabaruan.(Buku Putih Sanitasi,2013).
Sebelah Utara : Bebatasan dengan Republik Philipina
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Samudera Pasifik
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kabupaten Kepulauan Talaud
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Laut Sulawesi
Berada diantara Pulau Sulawesi dengan Pulau Mindanao (Republik Philipina), sehingga Kabupaten Kepulauan Talaud bersama dengan Kabupaten Kepulauan Sangihe, di sebut “Daerah Perbatasan“. Kemudian disamping Daerah Perbatasan, karateristik lain yang cukup signifikan membedakan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan Kab/Kota lain yakni: sebagai Daerah Kepulauan dan Daerah Tertinggal. Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan pemekaran dari Kabupaten Kepulauan Sangihe (pada saat itu masih Kabupaten Kepulauan Sangihe Talaud), berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2002. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan daerah bahari dengan luas lautnya sekitar 37.800 km2 dan luas wilayah daratan 1.251,02 Km2. Terdapat tiga pulau utama di Kabupaten Kepulauan Talaud, yaitu Pulau Karakelang, Pulau Salibabu dan Pulau Kabaruan.(Buku Putih Sanitasi,2013).
Perkebunan masih tetap menjadi sentra kegiatan
ekonomi Kabupaten Kepulauan Talaud. Pala, kopi, kakao, vanili, lada dan cengkeh
masih bisa diandalkan. Namun dari keenam komoditas tersebut, pala yang
diunggulkan. Tanaman yang sering dijadikan manisan ini tersebar merata di
seluruh wilayah kecamatan. Sejak jaman penjajahan Belanda, pala sudah menjadi
komoditas perdagangan penting. Proses pemeliharaannya yang mudah dan harga
jualnya yang cukup tinggi merupakan faktor pendorong lain masyarakat Talaud
menanam pala. Tidak hanya biji pala yang diperjualbelikan. Bunga pala yang
disebut fuli juga bernilai ekonomis tinggi. Fuli biasanya digunakanuntuk bumbu
masak dan minyak gosok. Perkebunan memang mendominasi kegiatan ekonomi
pertanian Kepulauan Talaud. Namun, dibalik itu, kegiatan pertanian tanaman
pangan masih menyimpan potensi. Hanya saja, semua potensi tersebut belum
tergarap maksimal. Dukungan sarana dan prasarana pertanian seperti irigasi
masih belum dikelola dengan baik. Padahal, jika potensi tanaman pangan digarap
dengan maksimal, kebutuhan pangan di Talaud bisa langsung terpenuhi.
Harga pala memang masi menjadi primadona hingga saat
ini, Tapi hal tersebut tidak berlaku di seluruh wilayah Indonesia apalagi bagi
Kabupaten Kepulauan Talaud yang merupakan daerah perbatasan Indonesia, contohnya
saja harga pala di Kabupaten Kepulauan Talaud sangat berbeda dengan harga pala
yang ada di daerah lainnya di Sulawesi Utara Seperti Kabupaten Kepulauan
Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Sitaro, hal tersebut diakibatkan karna jarak
antara tempat produksi dan tempat penjualan sangat jauh. Selain faktor harga,
ada beberapa faktor lainnya yang dapat mempengaruhi pendapatan petani pala antara
lain faktor volume dari pala itu sendiri yang di pengaruhi oleh kondisi iklim
dan kualitas tanah, sehingga tidak heran hasil produksi pala di Kabupaten
Kepulauan Talaud sangat berbeda tiap tahunnya.
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah setempat
tentang manfaat dan kegunaan pala, sangat berpengaruh juga terhadap pendapatan
petani pala di Kabupaten Kepulauan Talaud khususnya di Kecamatan Salibabu.
Masalahnya petani pala di Kabupaten Talaud hanya memproduksi pala dalam bentuk
Biji dan Fuli, sedangkan di daerah lain yang ada di Indonesia tanaman pala dapat
di kembangkan dalam produk turunan lainnya seperti Pala manis, Jus pala,
Penyedap makanan dll yang memiliki nilai ekonomi.
Berdasarkan uraian diatas, penulis merasa tertarik
untuk mengetahu permasalahan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Pendapatan Petani Pala Di
Desa Salibabu Utara Kecamatan Salibabu
Kabupaten Kepulauan Talaud”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan
apa yang telah di uraikan dalam latar belakang masalah, maka penulis dapat
mengidentifikasi masalah yaitu :
1. Jarak tempat
produksi dan tempat penjualan agak jauh
2. Kurangnya
sosialisasi dari pemerintah setempat tentang Pala
3. Harga yang
tidak tetap, tiap tahun berubah
4. Cara
pengolahan yang belum maksimal
C. Pembatasan Masalah
Permasalahan
dalam penelitian ini sangat luas dan kompleks, sehingga peneliti hanya
membatasinya pada faktor-faktor yg
mempengaruhi pendapatan petani pala di Kecamatan
Salibabu Kabupaten Kepulauan Talaud.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, dan batasan masalah maka masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: “faktor-faktor apakah yang dapat
mempengaruhi pendapatan petani pala di Kecamatan Salibabu Kabupaten Kepulauan
Talaud”
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas maka
tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor apa saja yang mempengaruhi
pendapatan petani pala di Kecamatan Salibabu Kabupaten Kepulauan Talaud.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu:
1.
Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengelolaan tanaman pala
2.
Memberikan masukan kepada pemerintah setempat untuk memberikan arahan ataupun
sosialisasi kepada petani pala.
3.
Memperkuat kemampuan mahasiswa untuk mengenal berbagai kebutuhan dalam
memecahkan berbagai faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan petani pala.
Catatan: Sebagian dari tulisan contoh latar belakang masalah ini diambil dalam artikel-artikel ataupun literatur-literatur sebelumnya dan Apabilah dikemudian hari ternyata dalam tulisan ini terdapat
kekeliruan, maka akan diadakan perbaikan baik berupa redaksi kata
ataupun kalimat.
0 komentar:
Posting Komentar